Untukitu, Somasi-KP mendorong Pemerintah Provinsi Bali dan seluruh pemerintah Kabupaten/ Kota di Bali untuk segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi yang boros lahan dan boros sumber daya alam. 24. Upaya Pelestarian Budaya Pelestarian adalah suatu proses atau tehnik yang didasarkan pada kebutuhan individu itu sendiri. Kelestarian tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu harus dikembangkan pula. Melestarikan suatu kebudayaan pun 11 dengan cara mendalami atau paling tidak mengetahui tentang budaya itu sendiri. Sebenarnya untuk membangun suatu negara diperlukan adanya peran pelestarian budaya dari masyarakatnya. Kelestarian budaya tidak dapat berlangsung sendiri tanpa adanya campur tangan dari penjaganya. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mempertahankan kebudayaan dan warisan asli Indonesia agar tidak hilang dan hanyut terbawa oler arus zaman. Vay Tiền Nhanh. Apa yang paling dikenal orang jika kita menyebut Bali? Selain pantainya yang indah, maka kultur budayanya yang kaya. Itu pula yang membuat Bali menjadi daerah tujuan wisata paling banyak dikunjungi di Indonesia, bahkan masuk 20 destinasi wisata terfavorit di dunia. Dunia pun turut mengakuinya. Google Doodle dalam edisi 29 Juni 2020 menampilkan gambar seorang petani tengah duduk di sebuah pondok, matanya mengarah ke hamparan sawah yang hijau. Disertai tagline “Merayakan Warisan Budaya, Subak”. Mengapa Subak dianggap menjadi warisan yang diakui oleh dunia? Sebagai sistem tradisional pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Subak mengakomodasikan dinamika sosio-teknis masyarakat setempat. Sistem irigasi ini mencakup lahan-lahan di teras pegunungan untuk mengatur pengairan lahan persawahan. Kontur tanah pegunungan di Bali memang membuat irigasi sangat sulit, ditambah lagi dengan populasi yang padat. Maka sumber daya air harus dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, harmoni dan kebersamaan, didistribusikan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dengan penggabungan semua unsur-unsur tersebut, petani Bali berhasil mengelola pertanian padi paling efisien di nusantara. Dilansir dari Historia, keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertarikh 882 Çaka Era Çaka dimulai pada tahun 78 Masehi. Di dalam prasasti itu ada kata huma’, yang mana kala itu lazim digunakan untuk menyebut ladang berpindah. Kemudian pada Prasasti Trunyan yang bertarikh 891 Çaka, tertulis kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Sejarah Subak Bali juga tercatat dalam Prasasti Bebetin 896 Çaka dan Prasasti Batuan 1022 Çaka. Pada dua prasasti itu dijelaskan ada kelompok pekerja khusus sawah di Bali, keahlian mereka adalah membuat terowongan air. Bukti-bukti arkeologis tersebut menunjukkan masyarakat Bali telah mengenal sebentuk cara mengelola irigasi pada sekitar abad ke-10. Dalam penyelenggaraan Sistem Subak, Pengurus Subak berpedoman pada hukum adat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Hukum Adat Subak disusun berdasarkan ajaran Tri Hita Karana, diartikan sebagai “Tiga hal yang sebabkan kesejahteraan”. Ketiga penyebab kesejahteraan tersebut adalah hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, hubungan harmonis dengan sesama manusia, dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Baca juga Menikmati Kemewahan Sawah dan Refleksi Ancamannya di Jatiluwih Subak adalah warisan budaya Bali yang diakui oleh dunia. Sebagai adalah model pengaturan tradisional untuk pengairan lahan persawahan. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia Bagaimana Sistem Subak Bekerja Sistem Subak Bali bekerja dengan memakai metode irigasi kontinyu dan bergilir. Dalam Sistem Subak, para petani diorganisir dan dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan. Setiap kelompok persawahan menerima distribusi air irigasi yang adil. Apabila wilayah subak di bagi dalam dua kelompok persawahan Kelompok I dan Kelompok II misalnya, maka pada musim hujan musim tanam pertama/MT I kedua kelompok menerima air irigasi. Sedangkan pada musim kemarau MT II, untuk kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija. Kemudian pada MT III, kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Itulah contoh praktik dari metode bergilir dalam bahasa setempat disebut nugel bumbung. Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim kemarau kelompok hulu persawahan di bagian hulu berhak menerima air yang pertama, kemudian pada musim tanam selanjutnya digeser ke kelompok di bagian tengah, dan terakhir digeser kekelompok hilir. Secara total Bali memiliki sekitar penampung air dan antara 50 dan 400 petani mengelola persediaan air dari satu sumber air. Petani masih menanam padi tradisional Bali tanpa bantuan pupuk atau pestisida, di mana lansekap secara keseluruhan dianggap memiliki konotasi suci. Di dalam alam kosmos masyarakat Bali terdapat lima situs yang menampilkan komponen utama alam, agama, dan budaya yang saling berhubungan dari sistem tradisional, di mana sistem subak masih berfungsi penuh. Situs-situs tersebut adalah Kuil Air Tertinggi Pura Ulun Danu Batur di tepi Danau Batur yang danau kawahnya dianggap sebagai asal mula dari setiap mata air dan sungai. Kemudian Bentang Alam Subak di Daerah Aliran Sungai Pakerisan, sistem irigasi tertua yang diketahui di Bali. Ada pula Lanskap Catur Angga Batukaru dengan teras yang disebutkan dalam prasasti abad ke-10 menjadikannya salah satu yang tertua di Bali dan contoh utama arsitektur candi Bali klasik. Dan selanjutnya, Kuil Air Pura Taman Ayun, ini yang paling besar dan memiliki bentuk arsitektural yang unik. Properti ini sepenuhnya mencakup atribut-atribut utama dari sistem Subak dan dampak mendalam yang dimilikinya terhadap lanskap Bali. Proses-proses yang membentuk bentang alam, dalam bentuk pertanian irigasi bertingkat yang dikelola oleh sistem Subak, masih bertahan selama ribuan tahun. Daerah pertanian ditanami secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan persediaan air mereka dikelola secara demokratis. Tak ayal, UNESCO sendiri telah memasukkan Subak sebagai salah satu warisan budaya dunia. Baca juga Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia Subak di Bali menghadapi banyak ancaman termasuk alih fungsi lahan dan rusaknya saluran irigasi. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia Tantangan Pelestarian Subak Subak dewasa ini memiliki tantangan yang berat. Sebagaimana masalah konservasi pada umumnya, yaitu pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, julam penduduk Bali masih jiwa. Pada tahun 2000, penduduk Bali telah bertambah menjadi jiwa. Sensus terakhir di tahu 2010 menunjukkan penduduk bali telah mencapai jiwa. Dari pertumbuhan penduduk yang meningkat tajam ini tentu lahan per kapita kian menyempit. Selain itu masalah terkini dari keberlanjutan Warisan Budaya Dunia itu ialah adanya hal-hal baru yang lebih menjanjikan di mata masyarakat dibanting mengolah lahan pertanian, sehingga terjadilah alih fungsi lahan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terlihat bahwa luas lahan sawah di Bali sedikit demi sedikit kemudian mulai beralih fungsi dan menyusut. Pada tahun 2003, luas lahan sawah di Bali ada hektar menjadi hektar di tahun 2017. Luas lahan sawah banyak yang bertransformasi menjadi pemukiman, bangunan industri, dan tempat wisata, serta fungsi lain yang dianggap oleh masyarakat lebih menjanjikan dari sisi pendapatan Masih menurut data Badan Pusat Statistik, produksi padi di Bali pada 2019 diperkirakan sebesar ton Gabah Kering Giling GKG atau mengalami penurunan sebanyak ton sekitar 13,15 persen dibandingkan tahun 2018. Jika produksi padi pada tahun 2019 dikonversikan, produksi beras di Bali pada 2019 sebesar ton atau mengalami penurunan sebanyak ton atau 13,15 persen dibandingkan tahun 2018. Ketika lahan beralih fungsi, apalagi dengan penggunaan di luar pertanian, penggunaan sistem subak lambat-laun akan terkikis. Pemerintah harusnya mewujudkan kedaulatan pangan bukan sekedar visi dan misi belaka. Misi itu harus diaplikasikan dalam kebijakan yang pro terhadap petani, terutama yang menghasilkan bahan pangan kita ini. Petani harus sejahtera hidupnya, sehingga generasi-generasi muda tidak merasa malu untuk bercita-cita menjadi petani. * Tri Wahyuni, penulis adalah pemerhati masalah lingkungan hidup; Peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini adalah opini penulis *** Foto utama Pengaturan tata ruang pertanian berupa terasering Subak mengikuti pola tanah yang membuatnya indah di Jatiluwih, Tabanan, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh DENPASAR - Beras adalah pangan utama bagi penduduk Indonesia, sehingga petani seharusnya memiliki bargaining power dalam pembentukan harga beras. Petani, baik padi atau sawah, merupakan way of life bagi masyarakat Indonesia, dan masyarakat Bali pada khususnya. Subak Pulagan, Desa Tampaksiring Kabupaten Gianyar, sebagai salah satu komponen dari lanskap subak yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia WBA. Demikian presentasi promopenda Ni Nyoman Reni Suasih SIP MSi saat menjalani ujian terbuka Program Doktor S3, Program Studi Ilmu Ekonomi, Universitas Udayana di Gedung Lantai III Pascasarjana Universitas Udayana, di Denpasar, Rabu 28/9/2016, yang didampingi promotor Prof Dr Drs Made Kembar Sri Budhi MP dan ko-promotor I, Dr I Nyoman Mahendra Yasa SE MSi dan ko-Promotor II, Dr Ida Ayu Nyoman Saskara SE MSi saat mempresentasikan desertasi yang berjudul Analisis Determinan Kesejahteraan Petani Studi Kasus di Subak Pulagan Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini bertujuan selain untuk syarat program studi S-3, juga mengangkat tentang melestarikan subak sebagai warisan budaya dan kearifan lokal dan bagaimana peran pemerintah, baik swasta maupun daerah, bersama-sama menjaga kearifan lokal yang ada di Gianyar, apalagi subak Pulagan yang sudah dinobatkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Salah satu upaya adalah menjaga segala struktur kearifan lokal dari sinergi inovasi dan teknologi, sehingga kearifan lokal tetap terjaga secara utuh. Ni Nyoman Reni Suasih mengawali karirnya dari pendidikan S1 Jurusan Manajemen Keuangan Daerah, Institut Pemerintahan Dalam Negeri IPDN angkatan 2006-2009 berlanjut ke S2 Magister Ilmu Ekonomi, Universitas Udayana angkatan 2010-2012 dan kini Nyoman Reni Suasih sudah menyelesaikan program studi S3 dengan predikat cumlaude yang dinyatakan langsung oleh ketua Ujian Terbuka Program Pascasarjana Prof Dr Drs Made Kembar Sri Budhi MP. Dengan dinobatkan sebagai lulusan terbaik program Doktor S3 Universitas Udayana, Sekretaris Daerah Gianyar, Drs Ida Bagus Gaga Adisaputra MSi berharap agar Reni mampu mengemban tugas dan mampu memanfaatkan gelarnya sebagai Doktor dan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat sehingga kearifan lokal tetap terjaga, khususnya subak Pulagan di Daerah Gianyar yang sudah dinobatkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. Selain itu, Reni yang sudah menyandang gelar Doktor juga berharap peran pemerintah dan masyarakat, khususnya petani, agar mampu bersinergi untuk membangun pertanian secara berkelanjutan, dan perlu adanya komunikasi secara efektif dari pemerintah daerah maupun pusat, agar tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Sehingga kearifan lokal tidak punah dan sebaiknya peran teknologi dan inovasi yang ditawarkan kepada petani di suatu wilayah agar disesuaikan dengan suatu wilayah dan harus diperlukan sinergisitas dengan kearifan lokal yang disesuaikan dengan budaya di suatu daerah. "Modernisasi tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya kearifan lokal yang merupakan napas dari masyarakat Bali sendiri. Jadi sinergisitas antara teknologi yang inovatif harus disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah, khususnya Bali sebagai daerah pariwisata, sehingga kearifan lokal, khususnya subak, bisa bertahan di zaman modernisasi," ujar Dr Ni Nyoman Reni Suasih, SIP MSi usai persidangan. * Info ter-UPDATE tentang BALI, dapat Anda pantau melalui Like fanpage >>> Follow >>> Jakarta, 29 Oktober 2022 – Kesan takjub tersirat dari wajah para delegasi G20 yang tengah mengunjungi Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, pada penghujung September 2022. Dalam kunjungan tersebut, rombongan diajak menyusuri hamparan sawah berpadi nan menguning. Pada kesempatan itu, mereka sekaligus diperkenalkan dengan pola irigasi khas Bali, yang dikenal dengan nama Subak. Adalah Wakil Menteri Pertanian Amerika Serikat Jewel H Bronough yang mengungkapkan kekagumannya terhadap Subak. Sistem irigasi tersebut dianggapnya mampu memberikan hasil yang lebih baik, dan terpenting mampu menekan efek pemanasan global. Tak heran jika kemudian dia pun berharap Subak dapat diadopsi di sebagian besar negara di dunia, guna menjaga kelestarian lingkungan dan alam. Sebagai kearifan lokal Indonesia tentang praktik pertanian berkelanjutan, dengan sistem climate smart agriculture CSA, yang menjadi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, subak juga telah diakui dunia. Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan UNESCO menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia WBD pada 2012. Di mana kawasan WBD itu berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luas kawasan itu berada lebih dari hektare dan Jatiluwih yang merupakan kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan, kerap disebut ikon subak. Subak sendiri diketahui berpegang pada filosofi “Paras-paros sarpa naya selulung subayan taka”, yang memiliki arti saling memberi dan menerima/berat sama dipikul ringan sama dijinjing’ mengutamakan semangat gotong royong dalam pengelolaannya. Filosofi lain yang juga jadi pedoman subak adalah tri hita karana atau tiga penyebab kebahagiaan’ yaitu Tuhan, manusia, dan alamnya. Jadi sistem pengaturan irigasi Subak yang sudah dipraktikkan sejak abad XI itu senantiasa menempatkan jati diri masyarakat Bali yang mengutamakan harmonisasi antara Tuhan, manusia, dan alam. Dalam Perda Provinsi Bali nomor 9 tahun 2012 tentang Subak mendefinisikan bahwa sistem irigasi pertanian itu merupakan sebuah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan/atau tata tanaman di tingkat usaha tani. Khusus, di masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religious, ekonomis, yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Biasanya, setiap subak memiliki lima pura yang dinamakan Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul. Pura tersebut dibangun khusus oleh para petani yang diperuntukkan bagi Dewi Kemakmuran dan Kesuburan Dewi Sri. Begitulah yang ditulis dalam Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Volume 7 Nomor 2, Juli—Desember 2017, yang ditulis I Nyoman Jamin Ariana, dkk. Jika umumnya subak hanya mengambil satu titik sumber air atau disebut one inlet system. Tapi berbeda halnya dengan subak Jatiluwih, yang menggunakan lebih dari satu sumber air untuk mengairi seluruh area persawahan yang terdiri dari beberapa tempek atau sub subak. Sumber air subak di Desa Jatiluwih berasal dari Danau Tamblingan yang merembes dari resapan Gunung Batukaru yang menimbulkan sumber air lain, yaitu Sungai Yeh Hoo, Yeh Bat, dan Yeh Pusut. Sumber air lain subak Jatiluwih juga ditemukan di setiap persawahan, seperti di Pura Bhet Gedong dan Pura Candi Kuning. Desa Jatiluwih berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut mdpl. Terletak di kaki Gunung Batukaru, yang merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Dewata, setelah Gunung Agung. Desa Jatiluwih berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Denpasar, atau memerlukan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Data Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mencatat, luas areal persawahan berundak di Jatiluwih paling luas di seluruh Bali, yaitu lebih dari hektare. Subak Jatiluwih terdiri dari tujuh subsubak/tempek dengan dua karakteristik, yaitu subak basah dan subak kering. Subak basah dapat dijumpai di subsubak/tempek Besi Kalung, Gunungsari, Kedamean, Kesambi, Uma Kayu, Uma Duwi, dan Telabah Gede. Sementara subak kering terdapat pada subak Abian Jatiluwih dan subak Abian Gunungsari. Ada pula subsubak/tempek yang memiliki dua karakteristik sekaligus, yaitu, tempek subak Kesambi dan Gunungsari. Dari karakteristik itulah subak Jatiluwih menerapkan sistem tanam berdasarkan musim yang disebut dengan “kerta masa.” Sistem ini menggunakan pola tanam sejajar dengan pola pengairan berundak atau terasiring. Pada subak basah, petani menanam padi secara bergiliran. Januari menanam padi beras merah dan dipanen pada Juni. Sedangkan pada Juli hingga November, petani akan menanam dan memanen padi beras putih. Beras merah ini menjadi ciri khas produksi pertanian subak Jatiluwih. Keselarasan dengan Alam Keselarasan dengan alam juga ditemukan dalam mitos yang masih dipercaya masyarakat Desa Jatiluwih. Dalam hal aturan subak, masyarakat dilarang membajak sawah pada hari-hari keagamaan, seperti saat purnama dan tilem rainan/hari suci menurut keyakinan umat Hindu Bali. Masyarakat juga dilarang membajak sawah pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Nyepi, termasuk hari lahir pemilik subak hari otonan. Pada saat proses panen, masyarakat juga memercayai larangan bagi suami istri untuk menunggu hasil panen secara bersama-sama. Bagi pemilik subak, mereka dilarang memulai penanaman benih padi sebelum tempek Telabah Gede. Masyarakat meyakini, jika hal itu dilanggar akan mengakibatkan gagal panen. Panorama persawahan berundak atau terasiring di Desa Jatiluwih telah diakui badan PBB UNESCO sebagai warisan budaya pada 2012. Pengakuan ini menjadi hadiah bagi masyarakat Desa Jatiluwih atas kebajikan darma yang sudah dilakukan sejak 1993 dengan menetapkan area persawahan subak sebagai desa wisata. Jauh sebelum itu, tepatnya Agustus 1975, pakar adat dan agama kanwil Departemen Agama Provinsi Bali I Gusti Ketut Kaler mencetuskan gagasan untuk melestarikan lembaga adat subak sebagai warisan luhur bangsa. Dari catatan di museum Subak diperoleh informasi bahwa sistem pengaturan irigasi pada masyarakat Bali itu dilakukan para petani yang tergabung dalam lembaga tradisional subak. Kemudian dalam perkembangannya, subak berperan dalam meningkatkan produksi pangan dan pelestarian lingkungan, termasuk sumber air. Penyuluh Pertanian Ahli Pertama I Gede Vibhuti Kumarananda dalam Asal Mula Sistem Subak di Bali menyebutkan, kegiatan pertanian sudah ada di Bali sekitar 882 M. Ini ditandai dengan kata huma’ dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1Purwita, 1993, yang menunjukkan bahwa sistem irigasi di Bali sudah diterapkan oleh petani sejak lebih dari seribu tahun silam. Jika mengacu pada Prasasti Pandak Badung tahun 1071 M kata subak’ muncul lewat kata “Kasuwakan” yang kemudian menjadi “Kasubakan”. Pada Prasasti Klungkung tahun 1072 M nama subak’ disebut di dalamnya, yaitu Subak Rawas’. Kata “Kasuwakan” yang berarti daerah subak juga ditemukan pada beberapa prasasti lain, Prasasti Trunyan 881 M, Prasasti Sukawana 882 M, Prasasti Bebetin A 896 M, Prasasti Buwahan, Timpag, dan Bugbug. Kata Subak juga ditemukan dalam naskah lontar Bali Kawit Babad Hindu Wenten Ring Bali, yaitu Sang mikukuhang sawah kewastanin subak, sang mikukuhang toya kewastanin pekaseh, ika mawenang mangepah toya punika’. Artinya kurang lebih begini, Orang yang aktif menggarap sawah disebut anggota subak, yang mengatur pembagian air disebut pekaseh, semuanya bertanggung jawab atas pembagian air di antara anggota subak’. Kearifan lokal subak yang mengusung konsep keberlanjutan sejalan dengan sistem climate smart agriculture CSA, sebagai upaya menghadapi perubahan iklim. Perubahan curah hujan dan kenaikan suhu udara yang juga berdampak di sektor pertanian, selain mengubah jadwal tanam, juga mengakibatkan produksi pertanian menurun. Di sinilah strategi adaptasi dan mitigasi menjadi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satunya, melalui pengembangan teknologi pengelolaan air yang serasi dengan nilai-nilai kearifan lokal. *** Narahubung Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo – Usman Kansong 0816785320. Dapatkan informasi lainnya di Terkait

jelaskan mengenai upaya pemerintah daerah bali untuk melestarikan subak